Melecehkan Istri via Telepon, Suami Debitur Kredivo Laporkan Oknum Penagih ke Polisi


Jakarta | Jejakwarta.com - Bukan rahasia umum lagi, penagih Pinjaman Online (Pinjol) melalui telepon sangat meresahkan padahal baru overdue atau keterlambatan 21 hari pada saat itu, salah satunya Roni yang merupakan seorang suami dari debitur pinjol yang merupakan emergency contact (EC) telah mendapati pengancaman, penghinaan dan pelecehan seksual oleh oknum penagih diduga dari pihak Kredivo pada 21 November 2024. Karena mengalami itu,  Roni membuat laporan ke Polres Metro Jakarta Barat pada 25 November 2024.

"Istri saya sebagai debiturnya, saya yang terima telepon karena saya sebagai emergency contact (EC). Suami mana yang tidak geram mendengar perkataan tidak senonoh yang mengarah ke istri saya. Pihak kredivo harus mempertanggung jawabkan atas ucapan dan pengancaman oknum penagihnya itu" ujar Roni kepada awak media, Minggu (16/03/2025).

Lebih lanjut, Kuasa Hukum Arthur Jonias Wattimena SH MH mengatakan bahwa kliennya mengalami tindakan tidak terpuji yang dilakukan oknum penagih Kredivo, "Penagihan pinjol melalui telepon sudah sangat meresahkan masyarakat, masalah ini sudah terjadi bukan hanya satu orang melainkan sudah banyak dan tidak bisa di maklumi lagi, karna sudah melanggar kode etik penagihan" ungkapnya..

Dalam hal ini, Arthur mengatakan sudah ada pengancaman, penghinaan dan pelecehan seksual, "Pada intinya, tujuannya oknum penagih itu telah melanggar aturan-aturan hukum yang berlaku" sambungnya.

Arthur menjelaskan bahwa pelecehan seksual adalah tindakan seksual fisik maupun non-fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban. Dalam hal ini termasuk halnya siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, mempertunjukkan materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan, dan mungkin menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan.

"Tindakan peneleponan yang dilakukan terhadap orang lain di media sosial yang bermuatan pelecehan seksual termasuk ke dalam kategori kekerasan seksual, berupa pelecehan seksual nonfisik" terang Arthur.

Menurut Arthur, tindakan oknum penagih tersebut dapat dipidana berdasarkan Pasal 5 UU TPKS tentang pelecehan seksual nonfisik. dengan ancaman pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

"Adapun yang dimaksud dengan perbuatan seksual secara nonfisik adalah pernyataan, gerak tubuh, atau aktivitas yang tidak patut dan mengarah kepada seksualitas dengan tujuan merendahkan atau mempermalukan" pungkasnya.


Selanjutnya, Arthur Jonias Wattimena SH MH menerangkan terkait pelecehan seksual yang spesifik dilakukan di media sosial menurut UU TPKS dapat digolongkan ke dalam tindak pidana kekerasan seksual berbasis elektronik yang diatur lebih lanjut dalam Pasal 14 ayat (1) UU TPKS sebagai berikut:

Setiap Orang yang tanpa hak:

- Melakukan perekaman dan/atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetujuan orang yang menjadi objek perekaman atau gambar atau tangkapan layar;

- Mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual; dan/atau

- Melakukan penguntitan dan/atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi objek dalam informasi/dokumen elektronik untuk tujuan seksual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). 

"Penting untuk diketahui bahwa kekerasan seksual berbasis elektronik ini merupakan delik aduan" kata Arthur.

Kemudian berdasarkan Pasal 16 ayat (1) UU TPKS, selain pidana penjara, pidana denda, atau pidana lainnya menurut undang-undang, hakim wajib menetapkan besarnya restitusi terhadap tindak pidana kekerasan seksual yang diancam dengan pidana penjara 4 tahun atau lebih. 

Selain ketentuan dalam UU TPKS, penelepon sebagaimana yang sudah terjadi juga dilarang oleh UU ITE dan perubahannya. Hal tersebut termasuk dalam perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (1) UU 1/2024 sebagai berikut.

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan, mempertunjukkan, mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan untuk diketahui umum.

Dari ketentuan di atas, yang dimaksud dengan “Mendistribusikan” adalah mengirimkan dan/atau menyebarkan informasi dan/atau dokumen elektronik kepada banyak orang atau berbagai pihak melalui sistem elektronik. Dapat pula dikatakan pelaku "Mentransmisikan” yaitu mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang ditujukan kepada pihak lain melalui sistem elektronik.

Adapun, penafsiran mengenai pengertian kesusilaan disesuaikan dengan standar yang berlaku pada masyarakat dalam waktu dan tempat tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan “diketahui umum” adalah untuk dapat atau sehingga dapat diakses oleh kumpulan orang banyak yang sebagian besar tidak saling mengenal.

Terhadap pelanggaran Pasal 27 ayat (1) UU 1/2024 tersebut, pelaku diancam dengan  pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar. Oleh karena itu, bagi saya sebagai seorang lawyer, pelaku yang melontarkan kata-kata yang tidak senonoh dan pelecehan melalui peneleponan dapat dikategorikan sebagai muatan informasi elektronik yang melanggar kesusilaan.

(R. Oji)
Diberdayakan oleh Blogger.